Puisi #1
Daun Khatulistiwa
Umi Laeliyah
Gema
kaki mengusik embun yang enggan turun,
Tangan lentik mengibas hamburan fajar yang berkilauan,
Tanah yang tenang menekuk-nekuk berirama dengan sepatu buluk,
Udara yang masih sejuk berselisih dengan badan bungkuk,
Mengikis kulit-kulit kayu kuat baris per baris,
Ehm, penyadap karet.
Tangan lentik mengibas hamburan fajar yang berkilauan,
Tanah yang tenang menekuk-nekuk berirama dengan sepatu buluk,
Udara yang masih sejuk berselisih dengan badan bungkuk,
Mengikis kulit-kulit kayu kuat baris per baris,
Ehm, penyadap karet.
Kaki yang berayun cepat dengan tangan gontai
Berlomba dengan mentari yang mulai meninggi
Menagih uang pada alam, kiranya masih mengucur getah-getah berharga itu
Sembari menggumamkan kidung-kidung lawas,
Mengajak tersenyum pohon yang tergores.
Sampai di ujung baris dan beradu pundak dengan si pohon.
“Terima kasih” ucapnya lirih
Para daun khatulistiwa, merambah alam.
Sekalipun hanya bergurat lemah, giat menyusun titik-titik kehidupan
Sekalipun bergerak pelan, giat mengolah asupan masa depan.
Hijaunya menyelimuti keindahan negri,
Dekapannya menampung bakal-bakal masa depan,
Daun khatulistiwa tidak menangis walau tinggal di pucuk kering
Daun khatulistiwa tetap kuat menahan gulungan angin
Berderap kembali pulang langkahnya pasti,
Tangannya menahan untaian bulir keringat yang tidak segan mengalir,
“Anak dan cucuku menanti sarapan” gumam hatinya pasti
Aah, daun khatulistiwa memang cantik.
Menghiasi panorama atlas dan globe yang merujuk negeri hijau ini.
Menyebar indah bak talian intan yang gemerlap.
Pundaknya kokoh, tangannya lembut lagi kuat, kakinya berderap cepat dan wajahnya ayu.
Kali saja banyak macam daun-daun khatulistiwa,
Ada yang bertengger di pot bunga dengan ayu nya,
Ada yang meruncing di deretan pohon cemara,
Ada yang berkamuflase cerdas bougenvile
Ada yang mengobati, ada yang memberi nutrisi,
Ya, beraneka ragam.
Berlomba dengan mentari yang mulai meninggi
Menagih uang pada alam, kiranya masih mengucur getah-getah berharga itu
Sembari menggumamkan kidung-kidung lawas,
Mengajak tersenyum pohon yang tergores.
Sampai di ujung baris dan beradu pundak dengan si pohon.
“Terima kasih” ucapnya lirih
Para daun khatulistiwa, merambah alam.
Sekalipun hanya bergurat lemah, giat menyusun titik-titik kehidupan
Sekalipun bergerak pelan, giat mengolah asupan masa depan.
Hijaunya menyelimuti keindahan negri,
Dekapannya menampung bakal-bakal masa depan,
Daun khatulistiwa tidak menangis walau tinggal di pucuk kering
Daun khatulistiwa tetap kuat menahan gulungan angin
Berderap kembali pulang langkahnya pasti,
Tangannya menahan untaian bulir keringat yang tidak segan mengalir,
“Anak dan cucuku menanti sarapan” gumam hatinya pasti
Aah, daun khatulistiwa memang cantik.
Menghiasi panorama atlas dan globe yang merujuk negeri hijau ini.
Menyebar indah bak talian intan yang gemerlap.
Pundaknya kokoh, tangannya lembut lagi kuat, kakinya berderap cepat dan wajahnya ayu.
Kali saja banyak macam daun-daun khatulistiwa,
Ada yang bertengger di pot bunga dengan ayu nya,
Ada yang meruncing di deretan pohon cemara,
Ada yang berkamuflase cerdas bougenvile
Ada yang mengobati, ada yang memberi nutrisi,
Ya, beraneka ragam.
Sampai pada duniaku, aku sedang menceritakan daun yang di
ujung ranting kering,
Wanita Indonesia yang menggenggam asa, “Aku tidak lemah dan aku mampu mengasilkan sesuatu”
Wanita Indonesia yang menggenggam asa, “Aku tidak lemah dan aku mampu mengasilkan sesuatu”
-Pekanbaru,
18 Mei 2014
Komentar
Posting Komentar