Postingan

Menampilkan postingan dari Juni, 2014

Aku masih "cuma" aku

Bismillah... Bagaimana kabarmu sahabat yang mencintai ribuan kata yang berangkai lewat diksi yang bermakna dalam? Akankah alunan dariku terbaca? Ah, sudahlah aku juga tak ingin ada yang membaca. Malam tadi, aku merasakan mati yang tepat berada di depan mata. Aku merasakan gelap dan keputus asaan. Akankah aku kembali esok pagi? Dalam sakit yang begitu parah dan gelisah akan hidup, aku mengiba pada ssatu-satunya jalan yang terbaik. Ya Rabb, akhirnya aku meminta lagi padamu, dan mengemis kecintaanmu. Di dua suara adzan yang mengalun jelas di telingaku, rassa sakit dan keputus asaan masih menggeluti badanku. Aku berfikir pulang menemui mama saja saat itu. Kemudian gelap datang dan rasanya kesendirian semakin membunuh rasa sakit yang sebenarnya tak seberapa parah. Untuk pertama kalinya aku ingin kembali. Ya Rabb, maafkan aku. Kesepian di antara ribuan rasa sakit dan kegelisahan serta kegelapan yang menyerbu aku senantiasa berharap hanya pada Nya yang setiap hari aku memalingkan ara

Puisi #2

Negeri Pelangi Bendera yang warna apa? Gambar yang bentuk apa? Ah, sudah waktunya berpesta! Bendera- bendera berwarna yang melewati anak-anak tanpa seragam. Tiang-tiangnya menjadi tempat untuk sekedar rehat. Terkadang, mereka sedikit mengutuk “Bagaimana nasibku ini,Tuan?” “Pagi ini aku masih tidak beseragam.” Gambar-gambar beragam. Segitiga,segiempat,hewan,tumbuhan,tanaman, bulan, planet, atau bintang. Ketuhanan? Kemanusiaan? Keadilan? Atau Kesejahteraan? Lalu menelusuri ibu-ibu renta dengan gerobak sampah ditangannya sambil melirik mereka mengiba “Aku masih berselimut susah” Menengok buruh-buruh dengan kapal tebal ditangan mereka, sambil mengusap peluh mereka mendongak “Tanganku masih diabaikan” Sejalan dengan petani, peternak, penggembala, pelaut, “Hai, mana Alam kami?” teriak mereka lusuh. Ah, bagaimana jika kita menonton sedikit berita kehidupan? Pembunuhan berdarah.Perampokan. Penculikan. Bagaimana ? Bagaimana dengan? Pembunuhan tanpa darah? Perampok

Puisi #1

Daun Khatulistiwa Umi Laeliyah Gema kaki mengusik embun yang enggan turun, Tangan lentik mengibas hamburan fajar yang berkilauan, Tanah yang tenang menekuk-nekuk berirama dengan sepatu buluk, Udara yang masih sejuk berselisih dengan badan bungkuk, Mengikis kulit-kulit kayu kuat baris per baris, Ehm, penyadap karet. Kaki yang berayun cepat dengan tangan gontai Berlomba dengan mentari yang mulai meninggi Menagih uang pada alam, kiranya masih mengucur getah-getah berharga itu Sembari menggumamkan kidung-kidung lawas, Mengajak tersenyum pohon yang tergores. Sampai di ujung baris dan beradu pundak dengan si pohon. “Terima kasih” ucapnya lirih Para daun khatulistiwa, merambah alam. Sekalipun hanya bergurat lemah, giat menyusun titik-titik kehidupan Sekalipun bergerak pelan, giat mengolah asupan masa depan. Hijaunya menyelimuti keindahan negri, Dekapannya menampung bakal-bakal masa depan, Daun khatulistiwa tidak menangis walau tinggal di pucuk kering Daun khatu

Ini untuk lomba, cuma gagal di masukkan :D

Sekolah Pilihan Oleh:Umi Laeliyah Gemuruh suara mesin diesel membangunkan satu per satu penghuni alam fana bertebaran nikmat ini. Membuka mata-mata yang beberapa jam diistirahatkan dari kelelahan yang menumpuk. Sungguh jika mata ini tidak diistirahatkan, hari ini mungkin tidak dapat digunakan dengan baik. Ya, maka nikmat Tuhan mu mana lagi yang kau dustakan? Aku tersenyum tipis sembari mengejek para daun yang tetap terjaga menemani malam. Gelap subuh dikibas sedikit oleh fajar yang mulai menyingsing senang. Bayangan kecil dengan selendang sarung menerobos lewat pohon-pohon karet yang berdiri tegap layaknya tentara negeri ini, ah terbalik! Tentara negeri ini yang meniru tegapnya pohon berbaris rapi di alam ini. Dari jauh sorotan senter memainkan hamburan cahayanya tepat dimataku. “Jaka, jangan disorotkan ke arah mbak!” teriakku sembari menghalangi sorotan senter itu. “Haha, biar mbak benar- benar bangun” jawabnya sambil tertawa “Dasar anak nakal, sana mandi!” perintahku samb