Ini untuk lomba, cuma gagal di masukkan :D
Sekolah Pilihan
Oleh:Umi Laeliyah
Oleh:Umi Laeliyah
Gemuruh
suara mesin diesel membangunkan satu per satu penghuni alam fana bertebaran
nikmat ini. Membuka mata-mata yang beberapa jam diistirahatkan dari kelelahan
yang menumpuk. Sungguh jika mata ini tidak diistirahatkan, hari ini mungkin
tidak dapat digunakan dengan baik. Ya, maka nikmat Tuhan mu mana lagi yang kau
dustakan? Aku tersenyum tipis sembari mengejek para daun yang tetap terjaga
menemani malam. Gelap subuh dikibas sedikit oleh fajar yang mulai menyingsing
senang. Bayangan kecil dengan selendang sarung menerobos lewat pohon-pohon
karet yang berdiri tegap layaknya tentara negeri ini, ah terbalik! Tentara
negeri ini yang meniru tegapnya pohon berbaris rapi di alam ini. Dari jauh
sorotan senter memainkan hamburan cahayanya tepat dimataku.
“Jaka,
jangan disorotkan ke arah mbak!” teriakku sembari menghalangi sorotan senter itu.
“Haha, biar mbak benar- benar bangun” jawabnya sambil tertawa
“Dasar anak nakal, sana mandi!” perintahku sambil mengelus rambutnya yang mulai panjang.
“Haha, biar mbak benar- benar bangun” jawabnya sambil tertawa
“Dasar anak nakal, sana mandi!” perintahku sambil mengelus rambutnya yang mulai panjang.
Si
kecil itu sudah besar. Ia sudah menjalin rantai-rantai kehidupannya walaupun
lemah dan belum rapi. Ia sudah mengerti bahwa dunia ini tidak mudah, pagi
baginya adalah awal yang berat, menapaki mushala untuk shalat bahkan memerlukan
perjalanan yang cukup melelahkan. Ia harus ditemani senter jadul milik mbah
yang terkadang bisa mati mendadak. Ia harus menimba air untuk mandi sesekali ia
harus mandi air lumpur karena sumur kering. Si kecil itu sudah belajar berlari
bahwa semestinya ia baru bisa duduk. Aku memandangi rumput sembari menerawang
jauh entah pada ujung mana mata ini menembus.” Apakah kalian tahu jawaban dari
semua pertanyaan dan keinginan dibenakku?”
Aku.
Aku hanyalah gadis desa dengan keahlian super minim. Pekerjaanku hanya membantu
nenek menjual sayuran dari ladang kami. Ladang yang tidak seluas halaman istana
Presiden, bahkan mungkin lebih kecil dari kamar bapak Presiden. Pikirku.
“Mbak...”
sapa Jaka menghamburkan semua lamunan di otak kecilku
“Ehm, iya, kenapa dek?” jawabku ngawur
“Mbak ngelamun ya? Pagi-pagi kok ngelamun sih mbak. Mbak, Jaka bentar lagi lulus SD.” ceritanya dengan mata menerawang ke arah langit yang masih kelabu.
“Ehm, iya, kenapa dek?” jawabku ngawur
“Mbak ngelamun ya? Pagi-pagi kok ngelamun sih mbak. Mbak, Jaka bentar lagi lulus SD.” ceritanya dengan mata menerawang ke arah langit yang masih kelabu.
Aku
menunduk sekejap dan memandanginya dengan senyuman tersungging di bibirku.
“Iya,
mbak tahu. Jadi gimana?” aku menjawab dengan memeluk pundaknya yang kecil itu.
“Jaka pengen sekolah di SMP 1, Mbak.” Jawabnya pelan
“Bagus itu, mbak dukung.”
“Tapi, teman Jaka bilang susah masuk ke SMP 1, Mbak. Kata teman Jaka juga kalau yang rumahnya jauh dari SMP 1 kayak rumah kita gak mudah masuk SMP 1, kalau yang rumahnya dekat sama SMP 1 bisa diterima semua.”
“Ehm, kok gitu? Kan yang penting Jaka belajar yang rajin biar nilainya mencukupi nilai masuk ke SMP 1.”
“Enggak, Mbak. Buktinya mas Didi gak diterima tahun kemarin di SMP 1, padahal mas Didi juara 3 di SD karena rumah mas Didi kan jauh dari SMP 1.” Sergahnya sedikit sedih
“Jaka pengen sekolah di SMP 1, Mbak.” Jawabnya pelan
“Bagus itu, mbak dukung.”
“Tapi, teman Jaka bilang susah masuk ke SMP 1, Mbak. Kata teman Jaka juga kalau yang rumahnya jauh dari SMP 1 kayak rumah kita gak mudah masuk SMP 1, kalau yang rumahnya dekat sama SMP 1 bisa diterima semua.”
“Ehm, kok gitu? Kan yang penting Jaka belajar yang rajin biar nilainya mencukupi nilai masuk ke SMP 1.”
“Enggak, Mbak. Buktinya mas Didi gak diterima tahun kemarin di SMP 1, padahal mas Didi juara 3 di SD karena rumah mas Didi kan jauh dari SMP 1.” Sergahnya sedikit sedih
Aku memeluknya hangat. Sepasang
tangan ini terasa kebas mendengarkan keluhannya.
“Jaka harus tahu, usaha kita untuk mendapatkan sesuatu harus benar-benar kuat, ehm 99% harus kita usahakan.”
“kenapa gak 100%, Mbak?” tanyanya sambil memandangiku penuh harap.
“1 % hanya milik Allah dan 1 % itu yang memutuskan segalanya, ingatlah jawaban Allah itu pasti yang terbaik.” Jawabku sambil tersenyum memandangi wajah kecilnya.
“udah, berangkat sekolah sana belajar yang rajin dan ingat pesan, Mbak”
“Sip, Mbak. Jaka berangkat ya,Mbak.”
“Jaka harus tahu, usaha kita untuk mendapatkan sesuatu harus benar-benar kuat, ehm 99% harus kita usahakan.”
“kenapa gak 100%, Mbak?” tanyanya sambil memandangiku penuh harap.
“1 % hanya milik Allah dan 1 % itu yang memutuskan segalanya, ingatlah jawaban Allah itu pasti yang terbaik.” Jawabku sambil tersenyum memandangi wajah kecilnya.
“udah, berangkat sekolah sana belajar yang rajin dan ingat pesan, Mbak”
“Sip, Mbak. Jaka berangkat ya,Mbak.”
Langit biru di atas ladang hijau memeluk kulit sawo matangku yang mulai menghitam oleh pancaran mentari yang mulai mudah menerobos lapisan atmosfir. Di antara sayuran-sayuran hijau ini aku mengadu, mengeluh dan bercerita panjang lebar.
“Apa sih yang dipikirin?” sapa mbah pelan
“Nia mikirin cerita Jaka tadi pagi, Mbah. Dia pengen banget sekolah di SMP 1, tapi daftar sekolah di SMP 1 itu emang gak mudah Mbah. Apalagi kita cuma orang desa, jauh dari kota juga.”
“Gak usah terlalu dipikirin, sekolah dimana-mana itu sama aja, yang penting sungguh-sungguh”
“Tapi kalau sekolah di sekolah yang bagus kan hasilnya lebih bagus Mbah, Jaka juga termasuk anak pintar, sayang kalau potensinya gak dikembangkan.”
“jadi mau gimana lagi, kalau memang gak bisa ya jangan dipaksain”
“ Mbah gitu...”
Aku
tidak mengerti sistem pendidikan di negeri khatulistiwa ini. Aku hanya orang
bodoh yang hanya tamat SMA. Aku juga tidak ingin Jaka mengalami hal yang sama
dengan yang aku alami. Aku ingin yang terbaik untuk Jaka.
Ujian
Sekolah SD sudah selesai dilaksanakan, aku dan Jaka mulai sibuk mengumpulkan persyaratan
untuk Jaka mendaftar ke SMP, tentunya
SMP 1. Kami sengaja bangun pagi dan bergegas berjalan kaki menuju persimpangan
agar bertemu dengan becak motor yang dapat membawa kami menuju SMP 1.
Perjalanan menuju SMP 1 lebih kurang 30 menit dari persimpangan dekat rumah
kami. Selama perjalanan aku memandangi wajah gembira Jaka yang tersebar jelas
di raut mukanya. Sesekali kami bercanda dan memandangi setiap pemandangan yang
kami tangkap di mata kami. Akhirnya setelah 30 menit, kami sampai di SMP 1. Halaman
sekolah sudah dipenuhi dengan calon siswa baru. Kami bergegas menuju tempat
pendaftaran dan mengisi formulir pendaftaran serta memberikan berkas
pendaftaran yang diminta oleh pihak sekolah. Setelah mengantri cukup panjang,
akhirnya giliran kami datang juga.
“Ini berkas pendaftaran
adik saya, Bu.”
“Bentar.”
“Iya,Bu.” Jawabku sambil masih menunggu ibu tersebut minum dan ngobrol bersama teman-temannya yang lain. Aku merasa sedikit kesal.
“Maaf, Bu. Ini berkas pendaftaran adik saya silahkan diperiksa terlebih dahulu.”
“Sabar bisa gak sih! Kamu gak lihat saya capek dari tadi.”
“Maaf,Bu.” Jawabku sembari mengelus dada
“Bentar.”
“Iya,Bu.” Jawabku sambil masih menunggu ibu tersebut minum dan ngobrol bersama teman-temannya yang lain. Aku merasa sedikit kesal.
“Maaf, Bu. Ini berkas pendaftaran adik saya silahkan diperiksa terlebih dahulu.”
“Sabar bisa gak sih! Kamu gak lihat saya capek dari tadi.”
“Maaf,Bu.” Jawabku sembari mengelus dada
Di
sela- sela ketegangan di antara kami, seorang ibu dengan baju rapi, tas mewah
dan sepatu hak tinggi yang tampak serasi dengan baju dan tasnya mendatangi kami
sambil memberikan map berisi berkas-berkas. Aku tidak yakin dengan isi map
tersebut, namun ibu panitia pendaftaran tersebut terlihat berubah total raut
mukanya dari pertama tadi. Ia tampak senyum dan ramah menanggapi ibu yang bisa
aku pastikan adalah seorang pegawai negeri.
“Wah, anak Ibu mau mendaftar di sini.” Sapanya hangat
“Iya, cepat diproses ya.” Jawab Ibu pejabat tersebut
Aku
merasa ada ketidakadilan, aku melangkah kembali satu langkah untuk mendekati
panitia pendaftaran tersebut.
“Maaf,Bu. Tapi berkas pendaftaran adik saya terlebih dahulu masuk sebelum berkas pendaftaran anak Ibu ini.”
“Kamu gak sopan ya jadi orang. Asal ngomong aja kamu. Memangnya adik kamu dari SD mana? Kamu pikir mudah masuk ke SMP ini. Belum tentu adik kamu bisa lulus juga.” Sergahnya dengan nada yang tinggi
“Maaf,Ibu. Adik saya memang dari desa kecil, SD yang tidak terkenal bahkan memiliki gedung yang apa adanya, tetapi adik saya memiliki potensi dan keinginan yang kuat.” tangisku tidak tertahan dan serasa menggaung begitu keras.
“Emangnya cuma itu faktornya, udah sini berkasnya sana tunggu di luar.” jawabnya sinis
Aku keluar dari ruangan tersebut menyeka semua air mata yang mengalir sehingga jaka tidak mengetahui aku menangis.
“Mbak, udah siap?” Jaka dengan cepat meraih tanganku.
Wajahnya bingar, matanya berbinar, senyumnya menebar. Tuhan, bantulah kami.
“Udah, bentar lagi ada test baca Al-Qur’an. Jaka siap-siap ya.”
“Iya, Mbak.”
“Maaf,Bu. Tapi berkas pendaftaran adik saya terlebih dahulu masuk sebelum berkas pendaftaran anak Ibu ini.”
“Kamu gak sopan ya jadi orang. Asal ngomong aja kamu. Memangnya adik kamu dari SD mana? Kamu pikir mudah masuk ke SMP ini. Belum tentu adik kamu bisa lulus juga.” Sergahnya dengan nada yang tinggi
“Maaf,Ibu. Adik saya memang dari desa kecil, SD yang tidak terkenal bahkan memiliki gedung yang apa adanya, tetapi adik saya memiliki potensi dan keinginan yang kuat.” tangisku tidak tertahan dan serasa menggaung begitu keras.
“Emangnya cuma itu faktornya, udah sini berkasnya sana tunggu di luar.” jawabnya sinis
Aku keluar dari ruangan tersebut menyeka semua air mata yang mengalir sehingga jaka tidak mengetahui aku menangis.
“Mbak, udah siap?” Jaka dengan cepat meraih tanganku.
Wajahnya bingar, matanya berbinar, senyumnya menebar. Tuhan, bantulah kami.
“Udah, bentar lagi ada test baca Al-Qur’an. Jaka siap-siap ya.”
“Iya, Mbak.”
Layang
seribu permohonan aku turutkan di setiap pertemuanku pada Yang Maha Kuasa.
Seperti inikah peliknya akar pembangunan ini? Seperti inikah perasaan para
wajah kecil yang ingin berada di sekolah pilihan? Begitu sulitkah mendapatkan
fasilitas pendidikan yang mumpuni? Aku dengar sudah 20%. Dimanakah perginya
anggaran itu? Aku mengiba pada diriku sendiri yang begitu bodoh ilmu, kurang
harta dan miskin pengalaman. Tuhan, maka kekayaanku adalah kemurahan Mu.
Pagi
dengan suasana yang sama, cinta dari alam yang sama dan gejolak rasa bersyukur
yang masih sama. Waktu pengumuman kelulusan masuk SMP 1 pun tiba. Jaka sudah
bangun dan berdandan begitu rapi. Aku tersenyum memandanginya sedikit haru.
“Jaka siap menerima hasilnya?” tanyaku lirih
“Jaka siap menerima hasilnya?” tanyaku lirih
“siap
dong mbak” jawabnya dengan muka girang
Aku
menepuk pundaknya pelan. Selama 30 menit perjalanan menjadi serasa begitu lama.
Sileut matahari mengiringi perjalanan kami mengajak lirih mensyukuri hari,
mengayomi pemikiran buruk dan kegugupan yang semakin memuncak ketika kami tapat
berada di depan gerbang SMP 1. Waktu serasa melambat, kegembiraan beberapa
wajah kecil lain begitu jelas nampak terasa menumpuki rasa penasaran dan
kekhawatiran. Jaka lari ikut menghambur bersama anak-anak lain. Aku
mengikutinya dari belakang dengan tanpa berjinjit aku mampu melihat hasil
pengumuman tersebut. Dari balik kerumunan anak-anak, Jaka tampak berbalik dan
tersenyum tipis. Aku menangkap badannya erat. Menangkap kerusuhan hati dan
keinginannya yang membuyar begitu saja. Menerawang mata hatinya yang lemah,
sambil tersenyum kecil, tangan kecilnya mengusap air mataku yang berjatuhan.
“Mbak, Jaka ikhlas. Jaka yakin di sekolah manapun Jaka pasti bisa dapat ilmu yang baik, pahlawan-pahlawan pasti gak semua yang sekolah di sekolah favorit, tapi bisa jadi pahlawan”
“Mbak, Jaka ikhlas. Jaka yakin di sekolah manapun Jaka pasti bisa dapat ilmu yang baik, pahlawan-pahlawan pasti gak semua yang sekolah di sekolah favorit, tapi bisa jadi pahlawan”
Aku
memeluknya erat. Ini kali aku ingin mengabarkan kepada angin agar dihembuskan
pada telinga para pejabat tinggi. Beri kami kesetaraan dan keadilan.
Komentar
Posting Komentar