Matahari di Ujung Senja

# Aku dan Medan Perangku
*Alasan

Daun. Aku mencintainya. Bentuknya melambangkan kata yang tak terdefinisi dengan baik. Warnanya menjadi simbol daratan di globe, peta, atlas dan mungkin petunjuk kehidupan lainnya. Kehidupan , ya daun mengajarkan kehidupan lewat sinergis, menjadi dapur utama fotosintesis. Sifatnya yang produktif dan kokoh. Ia hanya tergantung lemah, namun mampu bertahan. Dalam badai, ia tidak meronta. Mencoba bertahan dan hanya ikhlas ketika angin menerbangkannya jatuh ke bumi, dan hanya berakhir dengan kata "sampah".  Kemudian kembali menjadi bahan produktif ketika berubah menjadi kata "pupuk".

Selamat Datang Matahari, terimakasih sudah membangunkan para Daun.

Aku masih bersama dengan laptopku, browsing sana-sini atau hanya sekedar melepaskan sifat kepoku terhadap beberapa hal. Ah, kepo juga termasuk sikap ilmiah. Pelajaran sikap ilmiah yang diajarkan guru biologiku saat SMP menyebutkan bahwa rasa ingin tahu adalah salah satu sikap ilmiah yang harus dikembangkan. So, kepo is the one. (HAHAHA)
Mentari hari ini begitu riang, terlihat siluet oren tidak segan-segannya masuk ke dalam kisi-kisi jendela kamarku. Menerobos begitu saja dan memaksa otot-otot kecilku bergerak dalam ruang yang lebih besar. Ok, aku harus kembali bekerja. Kembali bersyukur bahwa benda 330.000 kali massa bumi itu masih bersinar dan setia menunggu. Menunggu? Sontak, level kegiranganku menjalar pada melankolis. Masihkah?

Aku meraih tas gendong di atas tempat tidurku. Aku tidak mau mereka menunggu. Bergegas meraih motor hijauku dan berangkat menuju medan perang. Ya, di bidang ini, aku harus berani berperang. Jalanan masih sepi, ah ternyata memang matahari yang terlalu girang, jam masih menunjukkan pukul 06.30. Hanya butuh waktu 15 menit untuk sampai di tempat kerjaku. Tempat kerja? Medan Perang? Wah, sebenarnya tidak semenakutkan itu. Aku bergegas menuju ruang berjejer itu, tampak wajah-wajah masa depan berkeliaran di setiap koridornya. Sedikit dari mereka tertunduk membaca buku. Sebagian lainnya asik ngerumpi di pojok-pojok ruangan, atau bahkan ada yang sibuk tendang-tendang bola. Sepagi ini?
"Pagi, bu Kartika!" sapa sebagian dari mereka
"Ibu...Ibu...." teriak salah satu dari mereka
aku berbalik
"Ini tugas kami" Katanya dengan nafas tersenggal-sengal
Aku hanya tersenyum singkat mengambilnya dan terus berjalan menuju kantor. Aku bekerja di wilayah terpenting di aspek kehidupan manusia, aku bekerja dengan orang-orang penting di masa depan kehidupan manusia, aku bekerja dengan? Ya, mereka yang banyak bertingkah aneh, super kreatif atau terkadang cenderung pada hiperkreatif, dengan mereka yang berada pada tingkat pubertas level menyeramkan dan dengan mereka yang mulai disibukkan dengan dunia-dunia alay. Pendidikan. Guru Kimia SMA Tunas Negeri.

Bel pelajaran pertama berbunyi. Kebetulan, aku tidak memiliki jadwal mengajar jam pertama. Aku bertugas piket hari ini. Pelajar-pelajar terlambat akan mendapatkan sarapan lezat dariku pagi ini. Aku berdiri tepat di bawah gerbang sekolah yang tidak terlalu tinggi dengan buku catatan hitam di tangan sebelah kiriku, kupandangi sederet wajah didepanku kali ini.
"Wah, wajah-wajah ini lagi. Ok, kita mulai dari alasan keterlambatan, Rio?
"Ban motor bocor, Bu."
"Ehm, baju kamu masih terlalu rapi untuk berjalan kaki sambil bawa motor Rio." jawabku tersenyum simpul.
"Hm, telat bangun bu" jawab Rio kembali
Insting guru memang sangat tajam.
"Next, Adli?
"Hehe, telat bangun bu." jawabnya dengan menggaruk-garuk kepala
"Hm, ibu harap kamu sudah mandi Adli"
"Adli mandi Bu."
"Mandi bebek,Bu." jawab yang lain menertawakan
Begitu selanjutnya 3 jawaban yang sama , kecuali..
"Iren? kamu sudah dua kali terlambat, apa alasan kamu hari ini?"
"Maaf, Bu"
Aku memandangnya lembut, matanya sayu, badannnya terlihat lemah. "Kamu tidak mau memberi alasan?" Dia hanya terdiam dan menunduk.
"Ok, karena keterlambatan kalian, maka Ibu sangat berterima kasih karena kebetulan, halaman depan sekolah masih terlihat kotor dan sepertinya Pak Mamang punya banyak pekerjaan pagi ini." Jadi kalian semua...
"Ibuuuu........" rengek mereka memelas
"jangan memelas, Ibu bukan malikat pagi ini, ayo bersihkan sekarang selama 10 menit dan kalian boleh masuk kelas."
"Baik,Bu." jawab mereka kompak
Mereka mulai membersihkan, aku mendekati Iren dan menggenggam lengannya lembut
"Iren, temui ibu Istirahat pertama ya"
"Iya, Bu"
**********

"Assalamu'alaykum"
"Wa'alaykumsalam, masuk Iren"
Aku membiarkannya duduk dan menatapnya lembut.
"Ibu tidak pernah mendengar kamu terlambat sebelumnya, bahkan catatan keterlambatan kamu tahun-tahun sebelumnya bersih, sebagai wali kelas ibu perlu tahu apa yang terjadi pada setiap murid Ibu, apa yang ingin kamu ceritakan?"
"Tidak ada, Bu, maaf atas keterlambatan Iren dua hari ini. Iren akan berusaha untuk tidak terlambat lagi" Jawabnya dengan senyum parau.
"Kamu yakin? Ibu tidak akan bisa membantu kamu jika kamu tidak mau cerita apapun. Setidaknya Ibu perlu tahu, Ada apa? Ayah dan Ibu kamu sehat?
Matanya menatap mataku layu, genangan di matanya terasa hendak tumpah. Bibirnya seperti hendak mengadu sesuatu, tetapi kemudian ia hanya menunduk. Aku tahu, Iren bukanlah siswa dengan latar belakang keluarga mampu. Tapi, hanya sebatas itu pengetahuanku, apalagi aku baru menjadi wali kelas nya semester ini.
" Iren, prestasi kamu termasuk cukup bagus, Ibu berharap kamu tetap mempertahankannya bahkan meningkatkannya, jika kamu terlambat tanpa alasan selama 3 kali berturut-turut, Ibu harus...
" Ayah tidak ingin Iren sekolah, ayah ingin Iren bekerja di toko untuk memenuhi kebutuhan rumah, Ibu juga tidak memiliki pekerjaan tetap," air matanya tumpah seketika ia mulai bercerita
Aku merasakan otot-ototku kebas, bibirku kelu, bahkan bendungan terbentuk di mataku, kenangan masa laluku sontak menyerang dari segala arah. Haruskah ada kembali aku-aku yang lain?
"Iren tidak memberi alasan karena Iren tidak punya alasan. Iren sudah janji pada Ayah untuk sekolah sambil bekerja pada sore hari sampai malam. Alasan hanya dimiliki oleh para looser, Iren tidak ingin kalah, Iren hanya ingin berusaha dan Iren berjanji untuk menjadi sukses untuk Ayah dan Ibu. Besok Iren tidak akan terlambat, Iren janji, Bu"
Sontak aku melayang, aku diterjang oleh seorang remaja dengan kepala kecil dan badan kecil. Aku merasakan petir menyambarku. Ternyata dia bukan aku yang dulu.
Aku tersenyum padanya kelu, "Baik, kalau Iren besok terlambat, Ibu juga termasuk salah satu yang kecewa."

Komentar

Posting Komentar

Postingan populer dari blog ini

Depend on yourself!

Surat untuk saudaraku 2012

Model Desain Pembelajaran