Jalur Kisah di Nayen
JALUR KISAH DI NAYEN
Kita
bisa memilih jenis pohon unggul dan terbaik, namun kita tidak bisa memilih bagaimana pohon
menumbuhkan ranting, daun, serta buahnya. Kita hanya bisa berusaha memupuk
pohon itu agar tumbuh dengan baik dan indah. Begitu juga dengan kisah
kehidupan, seperti kisah kita di skema kehidupan kali ini, jalurnya ditentukan
oleh Nya tetapi kisahnya kita yang membuat indah.
Suatu kisah di Nayen, antara
aku, kita, dan tanah baru...
Menata
Berlian di Senja Hari
Kelabu tidak sama dengan warna
senja, itu pasti...
Senja
memang indah, menggantung di pusara langit, menguning di perantara malam
bertahta di keagungan Nya. Ini kali mengapa menatap langit senja begitu
menyenangkan. Menunggu hadirnya gelap waktu untuk menyalakan cahaya masing-masing,
ya kali kita punya cahaya, jika tidak maka habislah bersama gelap.
Kali
ini belum senja, langit di tanah pijakan baru indah sekali tersenyum menyambut
tugas baru bersama keluarga baru. Lelah mengurusi segala persiapan tempat
tinggal. Maklum saja kami harus berpindah posko baru karena posko yang lama
kehabisan air. Suasana posko yang baru lebih baik pikirku. Mushala tepat di
samping posko, kamar mandi umum tersedia dengan cadangan air yang banyak. Tetap
saja, hati masih terpaut di kampung halaman, memberontak ingin pulang. Sesekali
air mata mengalir menatapi tempat tinggal baru yang akan kami tempati selama
kurang lebih sebulan.
“Capeeeek”
keluh rosa menggelantung di pundakku
“Hm,
iya tapi poskonya lebih baik” sambutku
“Oh
ya, kalian pake kamar yang mana? Kami yang depan ya?” tanya mela
“Ehm,
oke deh” jawab nurma
Aku,
rosa, reni, nurma dan dia mengguanakan kamar yang di belakang, semetara mela,
qila, meza, sahra,dan sari menempati kamar yang ada di depan. Ups, sebenarnya
itu bukan kamar yang sesungguhnya hanya saja ruangan kerja yang berbentuk
seperti kamar (hehehe L). Ya
bagaimana lagi, untuk melaksanakan tugas pengabdian di desa selama sebulan
perlu posko untuk memperlancar segala urusan. Oh ya, aku lupa tim laki-laki ada
di ruangan balai desa, posko utama.
Ramadhan
di kampung orang memang sedikit pilu. Sesekali aku terisak mengingat mbah dan
adikku jaka. Pengabdianku untuk mereka bahkan belum ku mulai, teringat tempe
goreng tepung yang selalu mbah buat khusus untukku, menu buka spesial, teringat
jaka yang nakal tapi selalu membuatku tertawa. Ah, ini baru hari pertama!
Decakku dalam hati.
Adzan
maghrib memecah sepi di Nayen, alhamdulillah buka puasa telah tiba. Buka
bersama keluarga baru dengan makanan ala kadarnya, sesekali candaan dan
teriakan dari teman-teman memberi hangat suasana gelap di Nayen.
Hari
ini waktunya perkenalan dengan warga Nayen. Selesai sholat tarawih berjamaah,
pak wali Nayen memperkenalkan kami satu persatu, giliranku memperkenalkan diri.
Sedikit gentar dan malu aku menuju ke depan, dengan hati-hati ku raih
microphone jenis lama masih megguankan kabel panjang, teringat di kampus sudah
menggunakan mic wireless, aku tersadar bahwa tempatku sekarang benar-benar
desa. Kuberanikan diri menatap ke depan, kupandangi wajah ibu dan bapak yang
hadir. Wah, tatapan mereka semua tertuju padaku, bukan tatpan tajam, atau
tatapan masam, tatapan itu tatapan hangat, tatapan penuh harap,seolah-olah
mereka mengharap kebaikan dari kedatangan kami.
“Mohon
bimbingannya ibu dan bapak” tutupku sambil tersenyum.
Selangkah
seribu pikirku, “Apa yang akan aku lakukan untuk kebaikan mereka?” “Bagaimana
cara aku mengabdi pada mereka?” rusuh hati begitu menatap wajah warga Nayen..
Acara
perkenalan usai dengan beberapa amanat yang diberikan oleh pak Wali Nayen. Aku
dan beberapa temanku duduk bersama ibu-ibu di atas sajadah Surau Nurul Ikhlas
desa Nayen. Beberapa perkenalan singkat dengan ibu-ibu menghiasi malam yang mulai
mendewasa, jam bedentang tiada akan pernah berhenti sampai waktu Nya tiba.
Pukul 22.00 WIB, mataku mulai mengajak lelap, kantuk tidak segan hadir
sekalipun pertemuan belum usai, masih dalam kantukku aku tercengang mendengar
seorang ibu mengajak mengaji.
“Ngaji
dolu awak, mua!”
“mua,
sedikit jadilah” jawab ibu yang lain dengan semangat.
Kantukku
seketika buyar, entah haru entah malu datang menyerbu kantuk menggantinya
dengan setetes air mata. Tergerak kami mengambil Kitabullah, mengikuti langkah
ibu-ibu untuk menjaga keindahan dan kebenaran Al Qur’an, membaca seksama
mengamalkan ajarannya. Taukah kalian kenapa aku haru? Wajah mereka tidak
semulus dan sekencang kita lagi, tangan mereka mulai gentar, suaranya goyah,
mata mulai kabur. Dengan keindahan di senja, mereka menata berlian untuk tidur
lelap di surga Nya.
Mereka
bukan remaja muda, bukan ibu-ibu 30 an, mereka ibu-ibu generasi umur emas,
meggenggam Kitabullah tanpa ragu. Malam ini bagi mereka akan pendek, senantiasa
menata keindahan malam yang akan lebih panjang.
Malam
di Nayen semakin menghitam, kutatapi hatiku dalam-dalam. Malukah engkau wahai
hati? Sekali sering lupa untuk membaca petunjuk Nya, membiarkan malam lewat
begitu saja tanpa ingat berlian mana yang akan kita tata di akhir nanti?
Kuakhiri kisah malam ini dengan titik. Selimut malam semakin dingin, waktunya
tidur.
Sahabat?
Maukah engkau menemaniku menata berlian mulai dini hari? Aku takut tidak
bertemu senja.
Banuaran,
9 Agustus 2015
Oemy21
Komentar
Posting Komentar