:)
Kisah Pion Kecil Menuju Kampus UR
Oleh : Umi Laeliyah
Pagi yang selalu lemah lembut.
Hembusan angin yang sedikit malas, sejajar dengan kemalasan bangun dari mimpi
malam tadi yang begitu indah, sekalipun tiada mimpi, cukuplah untuk tenang dan
absen dari gelombang dunia yang tak pernah berhenti bergetar. Sempurna
mengistirahatkan setiap sendi yang lelah dengan peradaban dan desakan
kehidupan. Bisikan burung-burung kecil yang mondar-mandir sengaja jadi alarm
pagi yang khusus dibuat Tuhan.
"Tuhan, terima kasih untuk
kembali bangunnya aku pagi ini."
Tidak bisakah setentram pagi
saja? Tidak perlu berdebu dengan galaknya siang dan sesaknya urusan anak adam.
Sayangnya tidak mungkin .
Hidup harus terus berjalan. :)
Hijau daun terlihat dari bilik
kecil kehidupanku. Hijau terus saja memberi harapan, betapa luar biasa nya hari
ini dan mungkin esok. Lewat sisi jendela, aku melihat pepohonan yang sudah
menungguku beranjak keluar dan menoleh pada sisi-sisi kehidupan. Tidak bisakah
dalam bilik ini saja? Oh, sepertinya mereka mulai marah dan hendak berteriak
keras memintaku bangun.
Aku mencintai hijau dengan
segenap kelembutan dan keagungan yang terikat padanya. Lewat kecerahan sinar
tampaknya, Tuhan mendidik manusia untuk belajar besyukur pada keindahan setiap
titik dari penciptaan Nya.
"jam segini kok baru bangun, isin
karo srengenge." sapaan pagi nenekku tercinta. Oh, tentu saja
sindiran itu tepat mengena di setiap sel yang ada di tubuh ini.
"Ini kan juga masih
pagi banget mbah." jawabku malas.
"Pagi banget untuk orang males kayak kamu
." ejeknya lagi
Candaan pagi yang selalu saja
terjadi semenjak liburanku dimulai setelah ujian nasional. Aku rasa itu hanya
candaan, candaan yang terlalu tipis dengan sindiran. Ya, liburan yang
menjadi transisi dari masa siswa dengan seragam formal menuju masa dimana masa
depan adalah satu jengkal di depan mata bagi yang memandangnya dengan
sungguh-sungguh. Liburan yang penuh dengan kecemasan dan kekhawatiran.
Bagaimana jika satu jengkal itu menjadi berpuluh-puluh jengkal jauhnya?
"Nanti kita ke rumah Pak Lurah
ya, minta tolong, mana tau ada hasil" ucap nenekku. Aku yakin ini bukan
lanjutan candaan darinya. Kembali, kembali kerasnya dunia harus di hadapi, aku
ingin tidur lagi saja. Hm, permasalahan yang tentu saja begitu penting untukku, namun aku malas harus
berurusan dengan kepelikan ini. Aku sering berfikir, seharusnya ada malaikat
yang datang dan memberi solusi. Ah, tentu saja itu khayalan yang sangat tidak
masuk akal!
" Iya nanti mbah." jawabku singkat. Hanya
ingin menenangkan beliau yang telah kusut memikirkan duniaku, aku selalu
berharap aku adalah aku sendiri. Tapi sulit dan akan selalu sulit. Bagaimana
mungkin tulang lemah dan bengkok ini bisa dengan gagahnya menghadapi kepelikan
ini sendiri. Selalu saja setiap harinya
berulang pembahasan yang tak bersolusi itu. Masa depan, aku ngotot? No, It
must be best.
Persoalan terpelik bagiku bukan
karena nilai rapor atau nilai ujian nasional yang tidak memenuhi standar
sehingga perguruan tinggi negeri tidak mau menerimaku. Aku memiliki sejarah
pencatatan nilai yang baik dan progress yang lumayan baik, terbukti bahwa aku
diterima di Universitas terbaik di provinsi ini dengan jalur yang tergolong
mudah. Aku fikir dari sini kepelikan ini dimulai. Jika putus asa adalah teman
dekatku, maka aku akan melepas golden tiket itu. Aku adalah pion kecil yang
selalu berharap mampu mengalahkan raja. Begitulah kepelikan mulai meliputi
keluarga kecil nun sederhana ini. Aku tinggal bersama nenek dan adik kecilku
yang masih duduk di kelas 3 SD. Bagaimana mengatasi jutaan rupiah? Bagaimana
mengatasi kehidupan mandiriku? Bagaimana mengatasi pembayaran tiap semester?
Ah, aku singkirkan segala batu
itu dari hadapanku. Segala cara harus aku upayakan bersama senjaku yang setia
menguatkan bahuku.
Segala cara? Maka harus
berbicara dengan orang asing.
Serendah- rendahnya diri, kami
meminta pada yang lebih berwenang, malu tak terasa lagi, kebas, hanya karena
warna yang ada tidak terlihat berwarna lagi di mata kami. Mengemis harapan
sekalipun terasa sesak dan sebegitu rendahkah kami? Angin segar, segar dan
mampu melayangkan setiap keinginan di asa paling tinggi dan berulang kami
bersyukur dan tertawa. Ah, sudah ku bilang malaikat itu ada. Pikirku. Dalam
perjalanan yang masih saja bahagia, seorang, dua orang menjatuhkan duri di
perjalanan. Dengan duduk tak bersalah, dari balik rumah megah berseru,
sebenarnya hanya berbisik, namun terdenggar terlalu keras untuk
telingaku. " Kuliah itu mahal, emang
sanggup? Makan aja susah" . " Insya
Allah, ya kalau bisa, kalau gak bisa ya gak di paksa" lirih nenekku
menjawab dengan sunggingan senyum. Subhanallah, adakah tempat kosong di dunia
ini yang bisa aku jadikan tempat berlari? Dengan diam perjalanan yang berat
kami teruskan, dalam diam tak bersuara sebentar kulihat raut wajah mbah
terlihat beku namun layu. Sepintas benakku bermain dengan emosi. Terasa pahit
namun nyata. Terasa keras namun itulah adanya. Apakah ada yang salah Tuhan? Aku
akan berjuang, tidak membunuh atau mencuri.
Adakah yang salah....
Malam pahit, pagi pahit, siang
pahit. Terus terulang pertengkaran batin dan rasional. dalam kebuntuan dan
kesengsaraan batin, satu tekad terpatri kuat dan
memaksa. " Kejar terus, ayo sama-sama
berjuang, gimanapun caranya maju terus, selagi mbah masih hidup." Air mata
yang lunglai dan lelah terus berturutan mengalir dan runtuh. Tuhan, malaikat
ini yang sesungguhnya engkau turunkan. Ada di sampingku :') dan esok tidak
berhenti sampai di situ. Di setiap pagi yang ramah, dan siang yang begitu panas
serta malam yang tenang, di setiap juang terdengar, terlihat mereka melirik
dengan mata kosong seraya bertutur, " mana mungkin sanggup". TERSENYUM,
ya tersenyum dan biarkan menjadi hikmah untuk mereka. Aku lebih baik dan akan
jauh lebih baik. Ini sedikit saja kekuatan yang Allah turunkan pada tulang
bengkok ini. Sembari mengetiknya pada sebuah laptop, aku tersenyum kecil dan
bersyukur. Aku masih bertahan dengan tegarnya.
Pekanbaru,
14 Juni 2014
Komentar
Posting Komentar